Monday, October 24, 2016

Gatot

Kata ini umum kita jumpai di era 2000an ketika seseorang merasakan kegagalan yang berarti, atau mungkin sangat berdampak bagi dirinya. Harus diakui, situasi ini bisa dialami oleh siapun termasuk mereka yang sudah berusaha sekuat mungkin untuk menghindarinya.

You can’t decide, because it’s already written in Lauhul Mahfudz. You just have some opportunities to try, to avoid something you scare with.

Yup, Radita merasa gagal untuk mempertahankan bentengnya. Bangunan tinggi yang telah ia dirikan dan sudah berhasil melindunginya selama beberapa bulan terakhir dari sosok-sosok asing yang ingin memasuki benteng tersebut. Mulai dari anak panah hingga cannon tidak ada yang berhasil menembusnya. Walaupun retakan-retakan kerap muncul di beberapa sisi, Radita segera berusaha memperbaikinya secepat mungkin agar benteng tersebut kembali kokoh dan kuat.

Sosok-sosok asing itu.. ada yang masih berdiri di depan pintu gerbang dan menunggunya terbuka, selain karena ia tak punya kuncinya, senjatanyapun telah habis untuk kembali menyerang;  adapula yang pergi karna marah akan kuatnya benteng yang telah ia coba lewati dengan hal-hal religi pada senjatanya; dan ada juga yang masih berusaha menyerang dengan senjata-senjata kecilnya yang masih tersisa.

Namun di waktu yang sama, benteng yang Radita anggap cukup ampuh untuk menjaganya, runtuh dalam hitungan detik.

Ternyata benteng yang selama ini Ia anggap kuat, sangatlah rapuh kenyataannya. Hancur hanya karena sebuah ketapel, ketapel yang melesatkankan sebuah kunci pintu gerbang benteng yang telah Radita buang jauh entah dimana.

Sosok itu tidak membuka gerbangnya, tapi ia melemparkan kuncinya. Hal ini membuatnya terkejut dan berlari keluar untuk mencari sosok tersebut melewati pintu gerbang yang ia buka dengan kunci tadi.

Namun, ia tidak menemukan sosok sang pelempar kunci. Hal ini membuatnya sedih, karna kejadian yang tidak ia prediksikan sebelumnya tanpa sadar telah membuatnya lalai untuk membiarkan bentengnya terbuka dan akhirnya hancur di tangannya sendiri.

Itu artinya, Radita harus kembali membangun bentengnya dari awal.

Benteng yang lebih kuat.

Benteng yang lebih kokoh.

Saturday, October 8, 2016

Diskusi Singkat

     Pasca lulus kuliah, nampaknya moment Walimah (nikahan) relasi kampus akan jadi kesempatan utama buat kumpul bareng temen-temen setelah perjuangan nentuin tanggal arisan yang tak kunjung jadi. Selain itu, sesibuk apapun, mau gak mau pasti akan tetep disempetin hadir untuk merayakan salah satu moment terpenting dalam hidup seseorang. Barakallah lakuma wa baraka alaikuma wa jamaah baina kuma fii khair..
     Hari ini pun, Alhamdulillah satu lagi anggota kelas psikologi A telah dilancarkan prosesnya untuk menjemput sang jodoh (menjemput apa dijemput ya? ;D). Berkumpulah kembali beberapa anggota kelas dan tentu 4 anggota geng kampus yang alhamdulillah rejeki buat kumpul, ngobrol, diskusi hingga berbisnis.
     Secara gak langsung, salah satu anggota geng ada yang mendadak dikepoin diwawancarain sama geng sebelah terkait agenda walimahnya bulan depan, apa introgasi ya mungkin bahasa yang lebih tepat :v
     Yup! Karena selama ini beliau tidak dikenal 'dekat' atau 'pacaran' dengan seorang cowo, so that's why banyak temen-temen yang jadi kepo gimana proses beliau bisa ketemu dengan calon Imamnya. Munculah pertanyaan-pertanyaan, diikuti dengan jawaban beliau yang cukup banyak mendapat interupsi dari temen-temen geng sebelah. Kitamah observasi aja sambil dengerin karna udah diceritain duluan dari beberapa bulan sebelumnya.
     Tapi ternyata ada perkembangan cerita yang terjadi dan berhasil jadi bahan belajar juga buat diri sendiri terkait kegiatan 'pasca khitbah'. Hati.. perasaan.. sekuat dan selurus apapun tetep aja setan bakalan menggoda! 
     Salah satu temen nanya gimana komunikasinya sama calon, beliaupun menjawab "Ya seperlunya, terkait persiapan acara nikah. Tapi sekarang wa-nya udah dibikin grup, gak personal lagi. Soalnya gimana ya, menurut dia udah gak bener gitu, melenceng. Udah terlalu akrab. Jadinya dibikin grup dan ada yang nemenin satu orang (sepupunya kalo gak salah). Dibikin peraturan juga, gak boleh pake emote dan jawabnya biasa aja, datar."

Dalem hati sendiri: "Oh.. gitu.. gak boleh pake emote dan harus datar.."

"Iya soalnya kalo pake emote tuh bikin ada 'perasaan-perasaan' gitu kan?" balasnya.

Baiklah.. dan kemudian merenung dan berusaha memahami.

     Selesai acara, aku diajak ikut nyobain tempat makan enak dan murah sama beliau, adik dan sepupunya di Fish Streat Bintaro. Udah makan, makan lagi, hahhaha.. 
Disinilah diskusi singkat berlangsung..
Tanpa introduction, akupun bertanya.
(sebut saja namanya Putri karna dia seorang wanita).
"Put, Alhamdulillah putri kan calonnya lurus nih, paham gimana harusnya 'bersikap', jadi dibikin kondisi kayak tadi yang di grup WA untuk menghindari hal-hal yang gak seharusnya.
Nah terus gimana kalo posisinya, aku pribadi juga belom terlalu kuat dan ada godaan dari pihak-pihak luar."

Dan putri pun bertanya "Kamu seneng gak ta dapet chat dari dia?"

Aku : (terdiam, nunduk dan berpikir selama beberapa detik) "Seneng put..."

Putri : "Nah itu yang gak boleh".

Singkat, padat dan jelas.

Tanpa penjelasan kasus yang panjang dan juga jawaban yang bertele-tele. 
Begitulah sahabat, jauh dari kesan basa basi dan just make it simple untuk memberikan solusi.
Begitu juga dengan hati yang mudah baper ketika ada lirikan chat dari lawan jenis.
Otak memberikan instruksi untuk berkomunikasi dalam konteks pertemanan ataupun 'dakwah', tapi hati terlampau nyaman dan membenarkan hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan.

Kamu bisa radita!
Tanpa emote, datar. Sip.