Wednesday, May 31, 2017

Pare Fellowship: Ramadhan Kareem

Pare (Kediri), Ramadhan 2016.

Ini adalah kali pertama aku menghabiskan hari-hari selama bulan puasa di luar Jakarta. Tidak ada buka puasa bersama teman-teman atau kerabat di Jakarta, sahur bersama orangtua, ataupun melahap lontong oncom bersama bumbu kacang kesukaan ketika berbuka. Dibalik banyak hal menyenangkan yang harus aku tinggalkan, Ramadhan kali ini tetap memberikan kesan dan pelajaran mendalam dibandingkan dengan bulan Ramadhan sebelumnya. 

Waktu berpuasa terasa semakin cepat berlalu ketika aku banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di kelas hingga hampir setiap hari berbuka puasa bersama. Begitupula Daniel dan Lily yang secara tidak langsung jadi ikut berpuasa dan aktif memberikan ide tempat berbuka karena sangat jarangnya warung makan yang menjajankan makanannya di siang hari. 

Terkadang jika dompet sedang tidak bersahabat, aku akan mengayuh sepeda ke Masjid di Jalan Brawijaya demi berbuka puasa gratis pada hari itu. Di waktu menyenangkan masa awal bulan, aku sering mendapatkan 'kotakan' di Masjid Jalan Anggrek saat berniat ingin melaksanakan sholat Tarawih disana setelah berbuka bersama teman-teman. Itupun karena tak sengaja bertemu Imam, teman sekelasku ketika di lembaga sebelumnya yang memang rajin menghabiskan waktu di masjid tersebut, entah untuk beribadah ataupun menggantikan adzan dan iqamat Marbot dengan suara merdunya.

Ah.. betapa menyenangkannya masa itu, aku sudah lebih canggih beradaptasi dengan banyaknya tugas harian, selain karena waktu di kelas juga lebih banyak dihabiskan untuk skoring dan skoring selama 2 minggu terakhir. Namun, harus diakui pada awalnya aku tetap membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan bulan Ramadhan kali ini. 

Telah menyiapkan nasi dan ayam goreng serta memasang alarm untuk sahur di hari pertama berpuasa, aku tidak berhasil bangun karena baru tidur beberapa jam sebelumnya untuk menyelesaikan tugas. Tak jarang hal ini terjadi beberapa kali di minggu berikutnya. Dalam hati aku berpikir, "Oh.. jadi gini rasanya jadi anak rantau di bulan puasa.." kemudian terlintas ingatan tentang ibu yang suka berkali-kali membangunkanku sahur ketika di rumah.

Waktu terus berjalan, tak terasa kami mulai sibuk dengan percakapan mengenai persiapan memesan tiket pesawat atau kereta untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Wiwi dan Zul berencana untuk satu pesawat pulang ke Makassar sejak satu bulan sebelumnya, pun aku dan El yang mengganti jadwal tiket kereta karena jadwal libur dipercepat oleh lembaga, Daniel yang membarengi jadwal aku dan El untuk pulang ke Bandung agar dapat membayar angkutan ke Stasiun Kediri dengan harga lebih murah, Yunda yang pulang jauh lebih dulu ke Padang dan membuat aku sibuk dengan curhatannya beberapa hari sebelum ia berpamitan, berbeda dengan Lily yang terlihat tenang dengan persiapannya untuk kembali ke Semarang, hingga Fardan dan Arkam yang paling terakhir meninggalkan Pare sebelum mereka kembali lagi setelah lebaran untuk mengajar di lembaga bersama Lily.

Beberapa hari sebelum hari perpisahan, kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama walaupun hanya untuk bercakap-cakap setelah sholat tarawih di salah satu warung makan. Selain karena tugas sudah semakin menipis, perjuangan selama 2 bulan terakhir telah berhasil membuat kami yang memiliki karakter berbeda-beda ini lebih mengenal satu sama lain, tentu juga merasa nyaman untuk menghabiskan waktu bersama.

Banyak kenangan berkesan yang aku alami dengan masing-masing para IELTS Catcher ini, sebutan bagi para murid yang mendalami IELTS di lembaga kami. Teringat akan Daniel, ia adalah orang pertama yang memberikan review pada tugas resume yang aku post di grup facebook lembaga. Aku tau pasti rasanya aneh untuk memberikan evaluasi pada resume artikel amburadul itu. Lain halnya dengan Zul yang membantu aku untuk memperbaiki rantai sepeda yang rusak setelah agenda kumpul ba'da tarawih. Walaupun tidak berhasil, ia bersedia menuntun sepedanya dan menemani aku untuk berjalan kaki hingga pertigaan ke Jalan Anggrek sebelum ia membawa sepedaku ke kostnya sedangkan aku membawa sepedanya, agar keesokan pagi aku dapat tepat waktu sampai di kelas mengingat kost Zul hanya berjarak ± 15 meter dari lembaga.

Jika membahas mengenai speaking, Wiwi adalah perempuan yang paling jago mengutarakan suaranya dengan lancar dan meyakinkan, selain Arkam yang terkenal dengan vocab lebainya atau Zul yang terkenal dengan julukan Mr. Idiom. Berbeda dengan Fardan yang menjadi orang pertama terlintas di pikiran ketika saat itu aku bingung akan satu hal terkait agama, terlebih karena teman di Jakarta tidak berhasil memberikan jawaban akan pertanyaanku saat itu. 

Mungkin jika ada kejuaraan lomba makan di kelas, Arkam akan menduduki juara pertama pada kategori laki-laki dan aku duduk sebagai pemenang di kategori perempuan. Aku sempat menjadi bahan bully setelah agenda berbuka puasa bersama di Warung Pak Gendut karena kejadian menawarkan nasi untuk Fardan. Saat itu aku berada di satu meja dengan Fardan, Zul dan El sedangkan teman-teman yang lain duduk di meja lain belakang kami karena ukuran meja yang tidak terlalu besar. Melihat Fardan memiliki badan paling kurus diantara anggota pria-pria yang lain, aku berinisiatif untuk memberikan setengah nasi aku kepadanya.
"Fardan, mau nasi gak nih? kebanyakan," kataku.
"Iya, makan aja dulu..".
"Yah keburu abis paling ntar."

Benar saja, sambal yang sudah habis di piring membuatku berinisiatif meminta sambal ke etalase depan untuk kemudian melanjutkan makan kembali. Penatnya skoring hari itu tak terasa membuatku menghabiskan nasi yang sebelumnya sempat ingin aku berikan, namun melihat sambal dan lauk yang masih lumayan banyak tersisa dipiring membuatku kembali berjalan menuju etalase untuk meminta nasi tambahan. Sambal Pak Gendut memang menjadi salah satu sambel kesukaanku terlebih jika dipadukan dengan nasi hangat.

Sayup-sayup suarapun mulai terdengar dari teman-teman ketika aku kembali ke meja, "Tadi Radita sok-sokan nawarin nasi ke Fardan, eeh malah dia nambah nasi sekarang. Hahahha". Disusul dengan pembelaan yang aku sampaikan agar mereka berhenti dengan aktifitas ledekannya. Jika Yunda dikenal sebagai laki-laki yang anti makan pakai kecap manis, Arkam dengan kelemahannya yang tidak mampu menghabiskan mie Jodes level 1, sedangkan aku menjadi dikenal sebagai perempuan dengan hobi makan paling banyak.
Daily bukber activity

(ki-ka Atas) Arkam, Fardan, Zul, Daniel
(ki-ka Bawah) El, Lily, Aku, Wiwi, Mr. Alam (Tutor reading terkeceh!)

Ba'da Tarawih Activity

Jakarta, Ramadhan 2017

Kembali ke Jakarta 3 hari sebelum lebaran, aku menjadi salah satu murid yang membutuhkan waktu lama untuk self study di rumah setelahnya. 1 bulan lebih meramu amunisi, aku akhirnya memutuskan untuk real test di bulan September menyusul beberapa teman yang telah berhasil lebih dulu mengantongi band IELTS mereka.

Tak disangka si kambing hitam kelas ini berhasil mendapat skor 7 untuk speaking. Jauh diluar ekspektasinya yang sudah merasa sangat beruntung jika memperoleh skor 6 untuk sesi paling mendebarkan itu. Mengagetkannya lagi, teman-teman lain yang dikenal memiliki kemampuan speaking jauh lebih baik, nyatanya belum diberikan kesempatan untuk mendapatkan skor serupa. Mungkin ini yang namanya keajaiban doa orangtua.

Tahun berganti, kami mulai sibuk untuk meraih mimpi selanjutnya yakni overseas scholarship. Sempat beberapa kali berdiskusi dengan Yunda via telpon untuk membahas essay, begitupula dengan intensitas chat dengan Wiwi yang memiliki keinginan serupa untuk mendaftarkan diri pada beasiswa pemerintah Korea Februari lalu. Saat bertemu Zul pada sesi interview open recruitment program volunteer, Zul menceritakan banyak kisah mengenai perjuangannya bersama Wiwi, Fardan dan Miss Nuni (Tutor) ketika mereka telah berhasil sampai pada tahap wawancara Beasiswa LPDP. Namun sayangnya mimpi untuk melanjutkan Master Abroad belum waktunya untuk diacc oleh Allah Swt.

Perlu disadari, masa-masa dahulu yang dirasa paling berat nyatanya 'gak ada apa-apanya' dibanding sekarang. Dulu, semua lebih mudah untuk dijalani ketika ada sosok-sosok yang dapat memotivasi untuk terus aktif dan produktif yakni para Tutor di lembaga. Sehingga mimpi kami untuk mendapatkan skor IELTS terbaik semakin mudah untuk diraih. Nyatanya sekarang saat berada pada kondisi 'berdiri sendiri' untuk mencari beasiswa, hal itu ternyata gak sesimple kelihatannya. Hanya diri sendiri yang dapat menjadi sumber motivasi untuk terus semangat bangun dari kegagalan dan penolakan, pun juga tak henti mencari informasi dan referensi demi melatih kemampuan menulis ataupun berbicara saat wawancara.

Waktu yang terus berjalan membuatku paham, bahwa ketika sedang merasa pada posisi berat ataupun sulit, ternyata itu hanya bagian dari salah satu langkah naik sebuah anak tangga. Karena nyatanya masih banyak anak tangga yang harus aku pijak, namun sudah bermodalkan kekuatan yang lebih besar setelah belajar dari beberapa anak tangga sebelumnya .

Tuesday, May 30, 2017

Pare Fellowship: Burnout!

________________________________________________
burn·out
/ˈbərnˌout/
noun
physical or mental collapse caused by overwork or stress.
________________________________________________


Pare (Kediri), Juni 2016.

Hampir satu bulan berjuang hingga gumoh writing bersama di kelas dan kost masing-masing, namanya juga baru lepas dari fase anak muda.. jiwa-jiwa anti terkekang mulai naik ke permukaan. Berhubung ada moment yang tepat yaitu sebelum memasuki bulan Ramadhan, kami memutuskan untuk jalan-jalan bareng! Setelah berdiskusi akhirnya Malang terpilih sebagai destinasi tujuan, yakni pantai 3 Warna yang dikenal sebagai salah satu pantai tercantik di Malang.

Pada saat itu sebenarnya kami masih belum mengetahui apakah akan ada hari libur ketika transisi untuk masuk ke kelas IELTS level selanjutnya. But, just take a risk! Ciri khas anak muda yang independen dengan alasan butuh refreshing setelah tugas bejibun. Hari semakin dekat menuju akhir pertemuan kelas bulan itu, para murid laki-laki berhasil melobby Mr. Irham (tutor paling baik) agar kita gak ditugaskan untuk menyusun naskah speaking pada hari libur nanti. Karena ternyata kami memperoleh 1 hari libur tambahan yaitu Jum'at, terlebih ternyata Mr. Irham juga ingin menghabiskan waktu di Malang bersama temannya walaupun sebelumnya kami sempet mengajak beliau untuk gabung. Tutor yang paling pengertian!

Namun.. Tutor lain yang memang dikenal strict abis dengan peraturan, tetap memberikan kami 8 judul writing task di Kamis sore dan harus dikumpul tepat pada Minggu pagi. Sayangnya, tidak ada dari kami yang mampu berkata bahwa sebenarnya terdapat rencana ngebolang khas anak muda beberapa hari kedepan.. misteri. Kami pun saling mengingatkan agar tidak ada yang update foto jalan-jalan di facebook demi merahasiakan misi ini dari Mr. Tutor. Setelah berdiskusi dengan temen-temen untuk mencari cara agar tetap dapat mengumpulkan tugas dan juga jalan-jalan, terungkaplah trik-trik licik browsing yang disampaikan dengan guyonan oleh Fardan dan Arkam hingga berkolaborasi untuk mengparaphrase essay 'partner in crime' dari El dan Wiwi. Sayangnya kami tidak berhasil menemukan jalan tengah kecuali mengorbankan salah satunya, tugas atau jalan-jalan.

Due to burnout which was obtained, absolutely we chose Malang Vacation! The power of strenghten each other, karena kalo dihukumpun pasti bareng-bareng :'D


Setelah membagi tugas antara konsumsi (perempuan), tenda dan sewa mobil (laki-laki), Yunda sudah standby memimpin kami di balik kemudi mobil untuk otw pada Kamis malam. Sempat transit untuk makan tengah malam di Alun-alun Batu bersama udara dingin khas Malang, kami sampai di Pantai Gatra pukul 3 pagi.  Karena jumlah pengunjung pantai 3 Warna dibatasi dan sampai detik itu kami belum dapet konfimasi booking, keputusan jatuh pada Pantai Gatra yang berlokasi tepat di sebelahnya agar kami dapat sejenak mengumpulkan kembali energi yang hilang diperjalanan. Sesampainya disana, kita berdelapan langsung mendirikan tenda untuk beristirahat. Pagi pun tiba, betapa senangnya saat itu akhirnya bisa lepas sementara dari aktifitas ketik mengetik. Semua lari ke pantai!!
(ki-ka) El, Wiwi, Yunda, Aku.
Fardan, Arkam.
(ki-ka) Yunda, Arkam, Wiwi, Aku.
Zul, Fardan.
Mie instant 3 hari full hahaha
Captured by Tyo.
Zul ngerequest hahaha

Pengalaman paling tak terlupakan saat kami menjelajah Pantai Gatra adalah ketika Tyo menyewa sebuah kano! Setelah ia puas mendayung layaknya Atlet Olimpiade, semua diminta untuk ikut mencoba. El sempat khawatir jika kano akan terbalik setelah melewati bibir pantai karna ketidakmampuannya untuk berenang, namun akhirnya ia berani coba dan semua baik-baik saja. Zul terlihat lihai karena berhasil melewati ombak pertama tanpa terpisah dari kano pada percobaan pertama, Berbeda dengan aku yang membutuhkan tiga kali jatuh sebelum melewati ombak pertama dan keasyikan mendayung terlalu jauh hingga terbalik entah setelah melewati berapa ombak. Sayangnya postur tubuh yang kurang mendukung membuatku tak dapat kembali naik ke atas kano tanpa bantuan memijakkan kaki di daratan. Alhasil Bapak pemilik kano harus menjemputku untuk menarik kano, bersama diriku yang berenang dengan berpegang pada tepinya. 

Matahari sudah tepat berada di atas ubun-ubun kami, saat itu konfirmasi masih belum diberikan oleh pengelola pantai agar kami dapat merasakan keindahan Pantai 3 Warna. Karena telah berkunjung kesana satu bulan sebelumnya, ku sadar bahwa Pantai 3 Warna memiliki pasir yang lebih halus dan putih dibanding sahabat karibnya ini, tentu dengan tebing yang dapat dipanjat dari balik semak hijau. 

Akhirnya kami searching untuk mencari spot pantai lain di area Malang, beberapa menit setelahnya kami memutuskan untuk segera bersiap untuk pindah ke Pantai Bale Kambang setelah sholat Ashar. Kembali berjibaku dengan klakson jalan, kami sampai sekitar pukul 8 malam. Kembali mendirikan tenda, dilanjutkan bermain truth or dare yang berhasil mengungkap banyak cerita tak terkira dan ditutup dengan beristirahat di tenda masing-masing, terkecuali Yunda yang memilih tidur di mobil. 


Karena hanya membawa sedikit perbekalan pakaian, hanya Tyo sang Atlet yang terlihat menerpa ombak pada pagi hari. Selain karna pantai yang sangat ramai, masih hangatnya euforia kecantikan Pantai Gatra  yang jauh melebihi Pantai Bale Kambang membuatku enggan untuk basah-basahan. Namun jembatan dan pura yang serupa dengan salah satu Pantai khas Bali membuat langkah kaki kami bergerak menuju kesana tanpa banyak diskusi.


Sedang asyik melahap ikan bakar di salah satu kedai, ternyata tenda kami ambruk terkena pasang ombak. Menjadi satu-satunya orang yang tahu akan hal itu, tenaga dalam Pelari Sprint tiba-tiba muncul pada kaki ini untuk segera bergegas memanggil teman-teman yang lain. Untungnya saat itu tenda dan tas-tas kami yang berada di dalamnya tidak terbawa oleh ombak dadakan itu. Alhasil kami harus menjemur tenda terlebih dahulu sebelum siangnya kembali menancapkan gas menuju kehidupan nyata, Pare. 

Selama perjalanan, candaan seputar tugas yang belum dikerjakan tak berhenti membuat ledakan tawa satu mobil. Namun begitu, kami tetap tidak tenang karena terus memeriksa website tempat post tugas, apakah Daniel dan Lily yang tidak bergabung tetep mengumpulkan tugas kontroversi tersebut. Ternyata hanya Lily yang sempet menguploadnya di Minggu siang, itupun tak rampung karna dia sedang menghadiri acara kerabatnya dan pulang ke Semarang. Begitupula Daniel, Ia tidak mengumpulkan karna sedang dalam kondisi kurang sehat.

Sesampainya di Pare pada Minggu sore, bener aja ternyata.. Mr. Tutor mencari Fardan dan Arkam ke camp mereka saat menyadari ada banyak anak murid yang membangkang hari itu. Hari Senin tiba, Mr. Tutor ngamuk-ngamuk di kelas. Kabar tersebut aku peroleh dari El karena baru terbangun pukul 7 lebih setelah berusaha menyelesaikan 8 task writing tercinta di malam sebelumnya, tentu aku memutuskan untuk tidak mencari tambahan masalah lagi hari itu. Setelah selesai mendengar wejangan menyayat hati hingga pukul 9, hari itu murid sekelas diminta untuk pulang walaupun itu adalah hari terakhir kelas kami bersama Mr. Irham.


Entah, mungkin karena tidak merasakan secara live tragedi omelan hari itu, tidak ada rasa sesal yang muncul sedikitpun atas perilaku agak 'bandel' pada akhir bulan pertama belajar IELTS di lembaga tersebut. Toh, gak sehat pula kan selalu non-stop berada di kondisi under pressureSometimes we need to break in order to increase our next performance :)
#SalamBandel

Pare Fellowship: Zombie IELTS

Pare (Kediri), Mei 2016.

Seperti rutinitas pagi sebelumnya, 10 menit sebelum jarum jam menunjukkan pukul 6 pagi, kugendong segera tas ransel hitam berisi senjata-senjata perang hari ini. Disusul dengan mengenakan kacamata Harry Potter anti kelilipan, kugenggam map besar biru berisi buku Complete IELTS band 5-6.5 sambil meraih kunci sepeda dengan Baymax menggantung pada kaitnya. 

Berjalan kedepan menuju rak sepatu, tak lupa bercermin sebentar di kaca kecil samping pintu untuk memastikan tidak ada bedak cemong khas bocah baru dibedakin emaknya abis mandi sebelum main gundu. Bergegas kuletakkan map besar biru di keranjang depan sepeda, mencoba mengeluarakan sepeda dari garasi padat kost-an tanpa menyenggol sepeda yang lain. Tentu sering menjadi lebih sulit ketika tangan kanan harus bekerja double sambil memegang roti tawar susu.

Kukebut sepeda menyusuri jalan bebatuan dan pohon-pohon bambu sambil melahap sarapan dengan semangat. Mungkin karna mulai terbiasa, aku sudah pintar memilih bagian jalan yang tidak berlubang agar sepeda dapat terus melaju dengan kencang. Demi menghemat 2 menit waktu perjalanan ke Lembaga kursus IELTS di Jalan Sakura, ini adalah jalan pintas tercepat selain agar aku tetap dapat  bersilaturahim dengan para kerabat di Lembaga sebelumnya.

Setibanya di Jalan Sakura, kadang aku bertemu dengan teman-teman lain yang sedang mengayuh sepeda dari arah kanan jalan. Pun saat sampai di gerbang, mereka sedang bergegas memarkirkan sepeda agar dapat tepat waktu masuk ke kelas pukul 6 demi terhindar dari tugas merangkum satu artikel berbahasa inggris di setiap menit keterlambatan.

Jika DNA rajin sedang melanda untuk datang lebih cepat, saat menuntun sepeda masuk ke halaman lembaga kadang aku melihat Yunda sedang bergumam sendirian menghafal vocab di pojokan area parkir sepeda. Ya, di bulan pertama aku bergabung dengan lembaga ini, setor vocab adalah kewajiban pertama kami setiap harinya. Melihat hukuman yang diberikan yakni resume satu artikel jika salah satu nomor, akan menjadi wajar ketika melihat pria asal Padang ini sedang berusaha mengurangi jumlah kesalahannya dalam menjawab kurang lebih 30 total soal. Terbukti semenjak Yunda sering nongkrong pagi di parkiran, ia terlihat lebih tenang dalam menjawab kuis dan tentu semakin banyak nomor yang berhasil terjawab.

Masih berusaha untuk beradaptasi dengan rutinitas baru yang sangat kontras dengan lembaga sebelumnya, tak jarang aku nyaris ketiduran ketika sesi reading sedang berlangsung tiap pukul 8. Sebuah pengalaman baru yang telah menggoreskan kenangan paling menantang selama proses belajar dibanding aktifitas belasan tahun sebelumya, even Skripsi yang katanya menguji mental. 

Vocab, listening, reading.. waktu tak terasa menunjukkan pukul 11, waktunya cari makan siang! Beberapa minggu pertama, aku lebih sering ngebolang sendiri saat di luar kelas. Entah untuk mencari makan atau... cari makan, nampaknya memang hanya aktifitas cari makan saja hiburan bagiku semenjak tergabung di lembaga ini. Karena alam bawah sadar terlanjur menuntut untuk terus menerus mengerjakan tugas agar lebih cepet selesai, setelah membeli makan aku segera bergegas ke kost-an untuk menyantap makan siang sambil mencicil tugas di leptop, resume kurang lebih 4 artikel dan 1 video TED Talk yang harus dikumpulkan sebelum kelas besok pagi dimulai, tak ketinggalan beberapa judul writing IELTS yang kadang menjadi alasanku mengayuh sepeda untuk keluar mencari cemilan di malam hari.

Menyempatkan waktu 15-20 menit untuk tidur siang, kadang terasa hanya beberapa detik hahaha, layaknya baru memejamkan mata namun tiba-tiba alarm sudah menghantarkan suara nyaringnya. Jika sedang dalam kondisi lelah kuadrat, kadang aku hanya bisa berteriak pelan (teriak kok pelan), "Ya Allah cepet bangeeeeet." Kalo udah gini, biasanya hanya membuat temen sekamar kaget sambil tertawa melihat aku ngacir untuk mencuci muka.

Sesampainya di kelas tentu secara otomatis rasa kantuk akan hilang dengan sendirinya. Jelas! Karna tiap jam 1 adalah jadwal kami untuk speaking. Dituntut untuk berpikir keras dalam menyusun ide sebelum tampil di depan ataupun dengan speaking partner, membuat aku tidak sempat untuk melakukan hal lain walaupun hanya sekedar nguap. Menyadari kemampuan speaking aku yang masih level tiarap, kadang akan jadi sesi pusing bukan main ketika dipasangkan bersama temen yang jago banget speakingnya. Sulit untuk level aku ini yang grammar-nya masih amburadul dan ngomong suka blepotan buat nge-review hasil speaking mereka sesuai indikator penilaian IELTS. Huft. Tapi tentu ada enaknya ketika dipasangkan dengan yang cermat macam ini karna mereka akan memberi aku banyak sekali review a.k.a evaluasi speaking yang harus diperbaiki, entah itu out of topic, inappropriate vocab, grammar mistakes, dan masih banyak lagi.

Ngomong-ngomong soal speaking, ada satu murid di kelas bernama Arkam yang terkenal sangat piawai dalam speaking. Tidak hanya high confidence, tapi juga suaranya yang TOA dan gemar menggunakan vocab-vocab lebai. Mungkin niatnya agar terlihat keren, tapi justru membuat tawa meledak dari temen-temen sekelas. Tiap jadwal speaking test langsung bersama Tutor, pasti laki-laki asal Makasar ini yang sering mendapat skor tertinggi. 

Begitu juga dengan Daniel, laki-laki asal Bandung yang paling senior umurnya di kelas. Seiring berjalannya waktu, aku paham bahwa dia hobi sekali main game online sejak kecil, mungkin ini alasan yang membuatnya memiliki vocab bejibun dan jago dalam menganalisis soal reading. Gimana gak jago, beberapa kali lagi saat sesi skoring reading berlangsung, tak jarang aku menendang kursinya yang tepat berada di depan aku agar ia terbangun. Gokil, dia tidur. Tapi saat sesi koreksi, skor reading dia selalu jauh lebih tinggi dibanding temen-temen yang lain. Sering guyonan muncul setelahnya, "Udah buruan real test aja deh niel..", kata Arkam atau Zul.

Pada masa-masa ini, aku berharap tugas bejibun yang tak kunjung henti dapat segera selesai, agar bisa tidur tenang, pikiran tenang dan hati-pun juga tenang. Tapi ternyata untuk mendapatkan skor 6.5 IELTS tentu tidak semudah itu, dapat terlelap pukul 1 pagi  adalah hal yang luar biasa harus aku syukuri tiap weekday. Kemudian kembali berharap dapat tidur setelah subuh saat weekendTentu mustahil! Karna bisa lebih dari 12 judul writing sudah menanti untuk diselesaikan. Begitulah aktifitas greget yang terjadi selama 2 bulan bergabung bersama lembaga yang memang terkenal gemar memberikan banyak tugas, super duper luar biasa. Begitu pula dengan progress yang dirasakan, tidak hanya di bagian writing yang akhirnya bisa perlahan lepas dari band 5. Tapi juga mental yang tentu berproses untuk menjadi lebih tough dari sebelumnya.

Mungkin karena otak isinya hanya tugas tugas dan tugas, kadang aku tidak terlalu peduli dengan efek yang muncul secara fisik, khususnya wajah. Hingga di suatu pagi Daniel menyapa dengan konten pembicaraan yang berbeda ketika aku baru sampai di gerbang lembaga, 
"Matanya kenapa, dit?"
"Kenapa?"
"Itu item gitu."
"Masa sih? Perasaan biasa aja."
"Iya tuh," sambil memperagakan menujuk sendiri area bawah matanya.
"Ah inimah makeup biar dikira rajin ngerjain tugas hahaha."
Kemudian berlalu begitu saja, "Ah, toh juga nanti ilang sendiri. Gak papa di Pare jadi Zombie, nanti kalo udah real test.. tidur panjaaaaaang." ungkapku dalam hati.


Jakarta, Mei 2017.

Satu tahun berlalu,
Kenangan di masa-masa yang sempat diakui sebagai titik terberat dalam hidup ini kadang suka kembali hadir dalam ingatan. Kenangan yang walaupun berat, namun tak pernah memberikan kesan 'kapok' untuk mengalaminya kembali, karena aku sadar bahwa diri ini masih membutuhkan lingkungan yang sangat kondusif untuk terus belajar agar dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tentu juga untuk bertemu dengan teman-teman baru lagi di luar sana, memperkaya ukhuwah dengan berbagai macam karakter yang berbeda.