Tuesday, May 30, 2017

Pare Fellowship: Zombie IELTS

Pare (Kediri), Mei 2016.

Seperti rutinitas pagi sebelumnya, 10 menit sebelum jarum jam menunjukkan pukul 6 pagi, kugendong segera tas ransel hitam berisi senjata-senjata perang hari ini. Disusul dengan mengenakan kacamata Harry Potter anti kelilipan, kugenggam map besar biru berisi buku Complete IELTS band 5-6.5 sambil meraih kunci sepeda dengan Baymax menggantung pada kaitnya. 

Berjalan kedepan menuju rak sepatu, tak lupa bercermin sebentar di kaca kecil samping pintu untuk memastikan tidak ada bedak cemong khas bocah baru dibedakin emaknya abis mandi sebelum main gundu. Bergegas kuletakkan map besar biru di keranjang depan sepeda, mencoba mengeluarakan sepeda dari garasi padat kost-an tanpa menyenggol sepeda yang lain. Tentu sering menjadi lebih sulit ketika tangan kanan harus bekerja double sambil memegang roti tawar susu.

Kukebut sepeda menyusuri jalan bebatuan dan pohon-pohon bambu sambil melahap sarapan dengan semangat. Mungkin karna mulai terbiasa, aku sudah pintar memilih bagian jalan yang tidak berlubang agar sepeda dapat terus melaju dengan kencang. Demi menghemat 2 menit waktu perjalanan ke Lembaga kursus IELTS di Jalan Sakura, ini adalah jalan pintas tercepat selain agar aku tetap dapat  bersilaturahim dengan para kerabat di Lembaga sebelumnya.

Setibanya di Jalan Sakura, kadang aku bertemu dengan teman-teman lain yang sedang mengayuh sepeda dari arah kanan jalan. Pun saat sampai di gerbang, mereka sedang bergegas memarkirkan sepeda agar dapat tepat waktu masuk ke kelas pukul 6 demi terhindar dari tugas merangkum satu artikel berbahasa inggris di setiap menit keterlambatan.

Jika DNA rajin sedang melanda untuk datang lebih cepat, saat menuntun sepeda masuk ke halaman lembaga kadang aku melihat Yunda sedang bergumam sendirian menghafal vocab di pojokan area parkir sepeda. Ya, di bulan pertama aku bergabung dengan lembaga ini, setor vocab adalah kewajiban pertama kami setiap harinya. Melihat hukuman yang diberikan yakni resume satu artikel jika salah satu nomor, akan menjadi wajar ketika melihat pria asal Padang ini sedang berusaha mengurangi jumlah kesalahannya dalam menjawab kurang lebih 30 total soal. Terbukti semenjak Yunda sering nongkrong pagi di parkiran, ia terlihat lebih tenang dalam menjawab kuis dan tentu semakin banyak nomor yang berhasil terjawab.

Masih berusaha untuk beradaptasi dengan rutinitas baru yang sangat kontras dengan lembaga sebelumnya, tak jarang aku nyaris ketiduran ketika sesi reading sedang berlangsung tiap pukul 8. Sebuah pengalaman baru yang telah menggoreskan kenangan paling menantang selama proses belajar dibanding aktifitas belasan tahun sebelumya, even Skripsi yang katanya menguji mental. 

Vocab, listening, reading.. waktu tak terasa menunjukkan pukul 11, waktunya cari makan siang! Beberapa minggu pertama, aku lebih sering ngebolang sendiri saat di luar kelas. Entah untuk mencari makan atau... cari makan, nampaknya memang hanya aktifitas cari makan saja hiburan bagiku semenjak tergabung di lembaga ini. Karena alam bawah sadar terlanjur menuntut untuk terus menerus mengerjakan tugas agar lebih cepet selesai, setelah membeli makan aku segera bergegas ke kost-an untuk menyantap makan siang sambil mencicil tugas di leptop, resume kurang lebih 4 artikel dan 1 video TED Talk yang harus dikumpulkan sebelum kelas besok pagi dimulai, tak ketinggalan beberapa judul writing IELTS yang kadang menjadi alasanku mengayuh sepeda untuk keluar mencari cemilan di malam hari.

Menyempatkan waktu 15-20 menit untuk tidur siang, kadang terasa hanya beberapa detik hahaha, layaknya baru memejamkan mata namun tiba-tiba alarm sudah menghantarkan suara nyaringnya. Jika sedang dalam kondisi lelah kuadrat, kadang aku hanya bisa berteriak pelan (teriak kok pelan), "Ya Allah cepet bangeeeeet." Kalo udah gini, biasanya hanya membuat temen sekamar kaget sambil tertawa melihat aku ngacir untuk mencuci muka.

Sesampainya di kelas tentu secara otomatis rasa kantuk akan hilang dengan sendirinya. Jelas! Karna tiap jam 1 adalah jadwal kami untuk speaking. Dituntut untuk berpikir keras dalam menyusun ide sebelum tampil di depan ataupun dengan speaking partner, membuat aku tidak sempat untuk melakukan hal lain walaupun hanya sekedar nguap. Menyadari kemampuan speaking aku yang masih level tiarap, kadang akan jadi sesi pusing bukan main ketika dipasangkan bersama temen yang jago banget speakingnya. Sulit untuk level aku ini yang grammar-nya masih amburadul dan ngomong suka blepotan buat nge-review hasil speaking mereka sesuai indikator penilaian IELTS. Huft. Tapi tentu ada enaknya ketika dipasangkan dengan yang cermat macam ini karna mereka akan memberi aku banyak sekali review a.k.a evaluasi speaking yang harus diperbaiki, entah itu out of topic, inappropriate vocab, grammar mistakes, dan masih banyak lagi.

Ngomong-ngomong soal speaking, ada satu murid di kelas bernama Arkam yang terkenal sangat piawai dalam speaking. Tidak hanya high confidence, tapi juga suaranya yang TOA dan gemar menggunakan vocab-vocab lebai. Mungkin niatnya agar terlihat keren, tapi justru membuat tawa meledak dari temen-temen sekelas. Tiap jadwal speaking test langsung bersama Tutor, pasti laki-laki asal Makasar ini yang sering mendapat skor tertinggi. 

Begitu juga dengan Daniel, laki-laki asal Bandung yang paling senior umurnya di kelas. Seiring berjalannya waktu, aku paham bahwa dia hobi sekali main game online sejak kecil, mungkin ini alasan yang membuatnya memiliki vocab bejibun dan jago dalam menganalisis soal reading. Gimana gak jago, beberapa kali lagi saat sesi skoring reading berlangsung, tak jarang aku menendang kursinya yang tepat berada di depan aku agar ia terbangun. Gokil, dia tidur. Tapi saat sesi koreksi, skor reading dia selalu jauh lebih tinggi dibanding temen-temen yang lain. Sering guyonan muncul setelahnya, "Udah buruan real test aja deh niel..", kata Arkam atau Zul.

Pada masa-masa ini, aku berharap tugas bejibun yang tak kunjung henti dapat segera selesai, agar bisa tidur tenang, pikiran tenang dan hati-pun juga tenang. Tapi ternyata untuk mendapatkan skor 6.5 IELTS tentu tidak semudah itu, dapat terlelap pukul 1 pagi  adalah hal yang luar biasa harus aku syukuri tiap weekday. Kemudian kembali berharap dapat tidur setelah subuh saat weekendTentu mustahil! Karna bisa lebih dari 12 judul writing sudah menanti untuk diselesaikan. Begitulah aktifitas greget yang terjadi selama 2 bulan bergabung bersama lembaga yang memang terkenal gemar memberikan banyak tugas, super duper luar biasa. Begitu pula dengan progress yang dirasakan, tidak hanya di bagian writing yang akhirnya bisa perlahan lepas dari band 5. Tapi juga mental yang tentu berproses untuk menjadi lebih tough dari sebelumnya.

Mungkin karena otak isinya hanya tugas tugas dan tugas, kadang aku tidak terlalu peduli dengan efek yang muncul secara fisik, khususnya wajah. Hingga di suatu pagi Daniel menyapa dengan konten pembicaraan yang berbeda ketika aku baru sampai di gerbang lembaga, 
"Matanya kenapa, dit?"
"Kenapa?"
"Itu item gitu."
"Masa sih? Perasaan biasa aja."
"Iya tuh," sambil memperagakan menujuk sendiri area bawah matanya.
"Ah inimah makeup biar dikira rajin ngerjain tugas hahaha."
Kemudian berlalu begitu saja, "Ah, toh juga nanti ilang sendiri. Gak papa di Pare jadi Zombie, nanti kalo udah real test.. tidur panjaaaaaang." ungkapku dalam hati.


Jakarta, Mei 2017.

Satu tahun berlalu,
Kenangan di masa-masa yang sempat diakui sebagai titik terberat dalam hidup ini kadang suka kembali hadir dalam ingatan. Kenangan yang walaupun berat, namun tak pernah memberikan kesan 'kapok' untuk mengalaminya kembali, karena aku sadar bahwa diri ini masih membutuhkan lingkungan yang sangat kondusif untuk terus belajar agar dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tentu juga untuk bertemu dengan teman-teman baru lagi di luar sana, memperkaya ukhuwah dengan berbagai macam karakter yang berbeda.

No comments:

Post a Comment