Wednesday, May 31, 2017

Pare Fellowship: Ramadhan Kareem

Pare (Kediri), Ramadhan 2016.

Ini adalah kali pertama aku menghabiskan hari-hari selama bulan puasa di luar Jakarta. Tidak ada buka puasa bersama teman-teman atau kerabat di Jakarta, sahur bersama orangtua, ataupun melahap lontong oncom bersama bumbu kacang kesukaan ketika berbuka. Dibalik banyak hal menyenangkan yang harus aku tinggalkan, Ramadhan kali ini tetap memberikan kesan dan pelajaran mendalam dibandingkan dengan bulan Ramadhan sebelumnya. 

Waktu berpuasa terasa semakin cepat berlalu ketika aku banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di kelas hingga hampir setiap hari berbuka puasa bersama. Begitupula Daniel dan Lily yang secara tidak langsung jadi ikut berpuasa dan aktif memberikan ide tempat berbuka karena sangat jarangnya warung makan yang menjajankan makanannya di siang hari. 

Terkadang jika dompet sedang tidak bersahabat, aku akan mengayuh sepeda ke Masjid di Jalan Brawijaya demi berbuka puasa gratis pada hari itu. Di waktu menyenangkan masa awal bulan, aku sering mendapatkan 'kotakan' di Masjid Jalan Anggrek saat berniat ingin melaksanakan sholat Tarawih disana setelah berbuka bersama teman-teman. Itupun karena tak sengaja bertemu Imam, teman sekelasku ketika di lembaga sebelumnya yang memang rajin menghabiskan waktu di masjid tersebut, entah untuk beribadah ataupun menggantikan adzan dan iqamat Marbot dengan suara merdunya.

Ah.. betapa menyenangkannya masa itu, aku sudah lebih canggih beradaptasi dengan banyaknya tugas harian, selain karena waktu di kelas juga lebih banyak dihabiskan untuk skoring dan skoring selama 2 minggu terakhir. Namun, harus diakui pada awalnya aku tetap membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan bulan Ramadhan kali ini. 

Telah menyiapkan nasi dan ayam goreng serta memasang alarm untuk sahur di hari pertama berpuasa, aku tidak berhasil bangun karena baru tidur beberapa jam sebelumnya untuk menyelesaikan tugas. Tak jarang hal ini terjadi beberapa kali di minggu berikutnya. Dalam hati aku berpikir, "Oh.. jadi gini rasanya jadi anak rantau di bulan puasa.." kemudian terlintas ingatan tentang ibu yang suka berkali-kali membangunkanku sahur ketika di rumah.

Waktu terus berjalan, tak terasa kami mulai sibuk dengan percakapan mengenai persiapan memesan tiket pesawat atau kereta untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Wiwi dan Zul berencana untuk satu pesawat pulang ke Makassar sejak satu bulan sebelumnya, pun aku dan El yang mengganti jadwal tiket kereta karena jadwal libur dipercepat oleh lembaga, Daniel yang membarengi jadwal aku dan El untuk pulang ke Bandung agar dapat membayar angkutan ke Stasiun Kediri dengan harga lebih murah, Yunda yang pulang jauh lebih dulu ke Padang dan membuat aku sibuk dengan curhatannya beberapa hari sebelum ia berpamitan, berbeda dengan Lily yang terlihat tenang dengan persiapannya untuk kembali ke Semarang, hingga Fardan dan Arkam yang paling terakhir meninggalkan Pare sebelum mereka kembali lagi setelah lebaran untuk mengajar di lembaga bersama Lily.

Beberapa hari sebelum hari perpisahan, kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama walaupun hanya untuk bercakap-cakap setelah sholat tarawih di salah satu warung makan. Selain karena tugas sudah semakin menipis, perjuangan selama 2 bulan terakhir telah berhasil membuat kami yang memiliki karakter berbeda-beda ini lebih mengenal satu sama lain, tentu juga merasa nyaman untuk menghabiskan waktu bersama.

Banyak kenangan berkesan yang aku alami dengan masing-masing para IELTS Catcher ini, sebutan bagi para murid yang mendalami IELTS di lembaga kami. Teringat akan Daniel, ia adalah orang pertama yang memberikan review pada tugas resume yang aku post di grup facebook lembaga. Aku tau pasti rasanya aneh untuk memberikan evaluasi pada resume artikel amburadul itu. Lain halnya dengan Zul yang membantu aku untuk memperbaiki rantai sepeda yang rusak setelah agenda kumpul ba'da tarawih. Walaupun tidak berhasil, ia bersedia menuntun sepedanya dan menemani aku untuk berjalan kaki hingga pertigaan ke Jalan Anggrek sebelum ia membawa sepedaku ke kostnya sedangkan aku membawa sepedanya, agar keesokan pagi aku dapat tepat waktu sampai di kelas mengingat kost Zul hanya berjarak ± 15 meter dari lembaga.

Jika membahas mengenai speaking, Wiwi adalah perempuan yang paling jago mengutarakan suaranya dengan lancar dan meyakinkan, selain Arkam yang terkenal dengan vocab lebainya atau Zul yang terkenal dengan julukan Mr. Idiom. Berbeda dengan Fardan yang menjadi orang pertama terlintas di pikiran ketika saat itu aku bingung akan satu hal terkait agama, terlebih karena teman di Jakarta tidak berhasil memberikan jawaban akan pertanyaanku saat itu. 

Mungkin jika ada kejuaraan lomba makan di kelas, Arkam akan menduduki juara pertama pada kategori laki-laki dan aku duduk sebagai pemenang di kategori perempuan. Aku sempat menjadi bahan bully setelah agenda berbuka puasa bersama di Warung Pak Gendut karena kejadian menawarkan nasi untuk Fardan. Saat itu aku berada di satu meja dengan Fardan, Zul dan El sedangkan teman-teman yang lain duduk di meja lain belakang kami karena ukuran meja yang tidak terlalu besar. Melihat Fardan memiliki badan paling kurus diantara anggota pria-pria yang lain, aku berinisiatif untuk memberikan setengah nasi aku kepadanya.
"Fardan, mau nasi gak nih? kebanyakan," kataku.
"Iya, makan aja dulu..".
"Yah keburu abis paling ntar."

Benar saja, sambal yang sudah habis di piring membuatku berinisiatif meminta sambal ke etalase depan untuk kemudian melanjutkan makan kembali. Penatnya skoring hari itu tak terasa membuatku menghabiskan nasi yang sebelumnya sempat ingin aku berikan, namun melihat sambal dan lauk yang masih lumayan banyak tersisa dipiring membuatku kembali berjalan menuju etalase untuk meminta nasi tambahan. Sambal Pak Gendut memang menjadi salah satu sambel kesukaanku terlebih jika dipadukan dengan nasi hangat.

Sayup-sayup suarapun mulai terdengar dari teman-teman ketika aku kembali ke meja, "Tadi Radita sok-sokan nawarin nasi ke Fardan, eeh malah dia nambah nasi sekarang. Hahahha". Disusul dengan pembelaan yang aku sampaikan agar mereka berhenti dengan aktifitas ledekannya. Jika Yunda dikenal sebagai laki-laki yang anti makan pakai kecap manis, Arkam dengan kelemahannya yang tidak mampu menghabiskan mie Jodes level 1, sedangkan aku menjadi dikenal sebagai perempuan dengan hobi makan paling banyak.
Daily bukber activity

(ki-ka Atas) Arkam, Fardan, Zul, Daniel
(ki-ka Bawah) El, Lily, Aku, Wiwi, Mr. Alam (Tutor reading terkeceh!)

Ba'da Tarawih Activity

Jakarta, Ramadhan 2017

Kembali ke Jakarta 3 hari sebelum lebaran, aku menjadi salah satu murid yang membutuhkan waktu lama untuk self study di rumah setelahnya. 1 bulan lebih meramu amunisi, aku akhirnya memutuskan untuk real test di bulan September menyusul beberapa teman yang telah berhasil lebih dulu mengantongi band IELTS mereka.

Tak disangka si kambing hitam kelas ini berhasil mendapat skor 7 untuk speaking. Jauh diluar ekspektasinya yang sudah merasa sangat beruntung jika memperoleh skor 6 untuk sesi paling mendebarkan itu. Mengagetkannya lagi, teman-teman lain yang dikenal memiliki kemampuan speaking jauh lebih baik, nyatanya belum diberikan kesempatan untuk mendapatkan skor serupa. Mungkin ini yang namanya keajaiban doa orangtua.

Tahun berganti, kami mulai sibuk untuk meraih mimpi selanjutnya yakni overseas scholarship. Sempat beberapa kali berdiskusi dengan Yunda via telpon untuk membahas essay, begitupula dengan intensitas chat dengan Wiwi yang memiliki keinginan serupa untuk mendaftarkan diri pada beasiswa pemerintah Korea Februari lalu. Saat bertemu Zul pada sesi interview open recruitment program volunteer, Zul menceritakan banyak kisah mengenai perjuangannya bersama Wiwi, Fardan dan Miss Nuni (Tutor) ketika mereka telah berhasil sampai pada tahap wawancara Beasiswa LPDP. Namun sayangnya mimpi untuk melanjutkan Master Abroad belum waktunya untuk diacc oleh Allah Swt.

Perlu disadari, masa-masa dahulu yang dirasa paling berat nyatanya 'gak ada apa-apanya' dibanding sekarang. Dulu, semua lebih mudah untuk dijalani ketika ada sosok-sosok yang dapat memotivasi untuk terus aktif dan produktif yakni para Tutor di lembaga. Sehingga mimpi kami untuk mendapatkan skor IELTS terbaik semakin mudah untuk diraih. Nyatanya sekarang saat berada pada kondisi 'berdiri sendiri' untuk mencari beasiswa, hal itu ternyata gak sesimple kelihatannya. Hanya diri sendiri yang dapat menjadi sumber motivasi untuk terus semangat bangun dari kegagalan dan penolakan, pun juga tak henti mencari informasi dan referensi demi melatih kemampuan menulis ataupun berbicara saat wawancara.

Waktu yang terus berjalan membuatku paham, bahwa ketika sedang merasa pada posisi berat ataupun sulit, ternyata itu hanya bagian dari salah satu langkah naik sebuah anak tangga. Karena nyatanya masih banyak anak tangga yang harus aku pijak, namun sudah bermodalkan kekuatan yang lebih besar setelah belajar dari beberapa anak tangga sebelumnya .

2 comments: